0
KAJIAN APRESIASI PROSA FIKSI
Posted by aafiahhhh
on
22.00
Tugas Kelompok
KAJIAN
APRESIASI PROSA FIKSI
“Mengkaji
Unsur Struktural, Unsur Resepsi dan Unsur Sosiologi Cerpen Robohnya Surau Kami
Karya AA Navis”

OLEH
NUR’ AFIAH (105 337 017 12)
ROSTINA
ERNI
KURNIAWATI
ROMI SYAHRIAL
MUH
ILHAM SYAHRIL
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2013
Robohnya
Surau Kami
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan
datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat
pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan
kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke
jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di
depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran
mandi. Dan di
pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana
dengan segala
tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun Ia sebagai
garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai penjaga surau, Kakek tidak
mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat
seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun
orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu
dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir
dengan pekerjaannya itu. Orangorang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak
pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong
mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang
laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi
yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasihdan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi
sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga
anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang
disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti
papan dinding atau lantai di malam hari. Jika Tuan datang sekarang, hanya akan
menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan
kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di
dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah
sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di
jaga lagi. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak
dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.
Sekali hari aku datang pula mengupah
Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi
sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak
menopang tangan dan dagunya.
Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang
mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan
halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek.
Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak
disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan
aku tanya Kakek, "Pisau siapa, Kek?"
"Ajo Sidi."
"Ajo Sidi?"
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah
lama aku tak
ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar
bualannya. Ajo
Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh
sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan
pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua
pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan
ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku
yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan
bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan
menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan
tersebut kami sebut pimpinan
katak. Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatang Ajo Sidi
kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan
itukah yang mendurjakan
Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. "Apa
ceritanya, Kek?"
"Siapa?"
"Ajo Sidi."
"Kurang ajar dia," Kakek menjawab.
"Kenapa?"
"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini,
menggoroh
tenggorokannya."
"Kakek marah?"
"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang
tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku
rusak karenanya,
ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik,
beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri
kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal." Ingin
tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Akutanya
lagi Kakek, "Bagaimana katanya, Kek?"
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena
aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, "Kau
kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan?
Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki
Tuhankah semua pekerjaanku?"
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek
sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan
pertanyaannya sendiri.
"Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri,
punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku
sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin,
kuserahkan kepada Allah
Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat
seekor enggan
aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan
neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku
kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku,
karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang
tawakal.
Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan
manusia dari
tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu.
Aku puji-puji
Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima
karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila
aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia
terkutuk." Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku,
"Ia katakan Kakek begitu, Kek?"
"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah
kira-kiranya."
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya.
Dalam hatiku aku
mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin
tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi. "Pada
suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa
orangorang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di
tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang
yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang
yang diperiksa itu ada seirang yang di dunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh
itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan di masukkan ke
dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada
dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk
neraka,
bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang
yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan
‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu
panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa
dengan segala sifat-Nya.
Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia
menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat
engkau di dunia.’
‘Ya, Tuhanku.’
‘apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut
nama-Mu.’
‘Lain.’
‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat
menyembah-Mu,
menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit,
nama-Mu
menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan
kemurahan hati-Mu
untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala
yang ia kerjakan.
Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu
ada lagi yang belum di katakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah
menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia
termenung dan menekurkan kepalanya.
Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji
Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh
hawa panas neraka
itu.
‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.
‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi
Pengasih dan
Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu
mencobakan siasat
merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan
bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa
aku katakan,
aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’
‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang
kauceritakan tadi?’
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk kamu.’
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji
Saleh tidakmengerti kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di
kehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak
teman-temannya di
dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak
mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka
itu tak kurangibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah
sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh
mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana
Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah
kita di suruh-Nya
taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan
selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’
‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan
kita semua, dan
tak kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.
‘Ini sungguh tidak adil.’
‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji
Saleh.
‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’
‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan
kita ke neraka
ini.’
‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu
suara
melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya
di dunia menjadi
pemimpin gerakan revolusioner.
‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting
sekarang, mari kita
berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang
kita perolah,’
sebuah suara menyela.
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan. Dan Tuhan
bertanya, ‘Kalian mau apa?’
Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan.
Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya:
‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang
paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang
selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu,mempropagandakan keadilan-Mu,
dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikitpun
kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau
panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal
yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami
menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang
Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan
berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’
‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka
mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya
kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan
hukuman kepada mereka itu.
‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh
tanpa di tanam?’
‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’
‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’
‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’
‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya,
bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh
laknat mereka itu.’
‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu
berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau
tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar
mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke
hatinya, bukan?’
‘Ada, Tuhanku.’
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak
cucumu teraniaya
semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya
untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri,
saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas.
Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak
membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau
miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu
semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka.
Letakkan dikeraknya!"
Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah
mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin
juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya di dunia itu salah atau benar.
Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang
menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di
dunia?’ tanya
Haji Saleh.
‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan
dirimu sendiri. Kau
takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau
melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri,
sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar,
terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi
engkau tak memedulikan mereka sedikit pun.’
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang
memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku
berkata apa aku tak pergi menjenguk.
"Siapa yang meninggal?" tanyaku kagut.
"Kakek."
"Kakek?"
"Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam
keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur."
"Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya
cepat-cepat meninggalkan istriku
yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya
saja. Lalu aku
tanya dia.
"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi.
"Tidak ia tahu Kakek meninggal?"
"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan
buat Kakek tujuh lapis."
"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh
mendengar segala peristiwa oleh
perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab,
"dan sekarang kemana dia?"
"Kerja."
"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa.
"Ya, dia pergi kerja."
-
UNSUR STRUKTURAL
Unsur struktural di sini ada dua yaitu
unsur intrinsik dan unsur ektrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun
dari dalam sedangkan unsur ektrinsik adalah unsur yang membangun dari luar
cerita.
Unsur Intrinsik
Tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi
keluarganya.
Amanat : 1) jangan
cepat marah kalau mendengar orang menjelek-jelekkan kita
2) jangan cepat bangga kalau
berbuat baik,
3) jangan terpesona oleh gelar dan nama besar,
4) jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan
5) jangan egois serta jangan kufur nikmat
Latar
-Latar Tempat
kota,
dekat pasar, di surau, dan sebagainya
-Latar Waktu
Beberapa
tahun yang lalu.
-Latar Suasana
Menentramkan, mencekam
Alur (plot)
Alur cerpen ini adalah alur mundur
karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu sebab-sebab
kematian kakek.
Penokohan
Tokoh-tokoh penting dalam cerpen ini
ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Soleh
(a) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
(b) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual
(c) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan
mempercayai orang lain.
(d) Haji Soleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri (Kufur
nikmat)
Sudut Pandang
Di dalam cerpen ini pengarang
memposisikan dirinya dalam cerita ini sebagi tokoh utama atau akuan sertaan
sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita dan ini terasa pada
bagian awal cerita. Selain itu pengarang pun berperan sebagai tokoh
bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh aku (orang
pertama)
Unsur Ekstrinsik :
Nilai sosial
Kita harus saling membantu jika orang lain dalam kesusahan
seperti dalam cerpen tersebut karena pada hakekatnya kita adalah makhluk
sosial.
Nilai Moral :
Kita sebagai sesama manusia hendaknya jangan saling mengejek
atau menghina orang lain tetapi harus saling menghormati.
Nilai Agama :
Kita harus selau malakukan kehendak Allah dan jangan
melakukan hal yang dilarang oleh-Nya seperti bunuh diri, mencemooh dan
berbohong.
Nilai Pendidkan :
Kita tidak boleh putus asa dalam menghadapi kesulitan
tetapi harus selalu berusaha dengan sekuat tenaga dan selalu berdoa.
Nilai Adat :
Kita harus menjalankan segala perintah
Tuhan dan memegang teguh nilai- nilai dalam masyarakat.
-
UNSUR RESEPSI
Tanggapan saya, cerpen ini adalah
cerpen yang sangat bagus. Isinya mengajarkan kita untuk tidak menjadi orang
yang kufur nikmat dan hanya mementingkan diri sendiri. Cerpen ini merupakan
cerita di dalam cerita, di mana Kakek mendapat kisah “Haji Saleh” dari Ajo Sidi
yang dikenal pembual dan menceritakannya pada tokoh Aku.Cerpen Robohnya Surau
Kami karya AA. Navis adalah novel bermuatan religious yang dikemas sangat baik
agar tidak terjadi kesalahpahaman sehingga tidak dianggap sebgai karya sastra
yang mneyesatkan. Di dalam cerpen ini penulis menggunakan bahasa pragmatic
untuk membuat judul. Sehingga, yang rubuh di sini bukanlah surau yang
benar-benar surau melainkan tentang ideologi keagamaan yang runtuh.
-
UNSUR SOSIOLOGI
Unsur sosiologi di sini mengacu pada
perubahan masyarakat, perilaku, serta perkembangannya. Di dalam cerpen ini
masyarakat mudah termakan dengan omongan orang yang menurutnya lebih pintar
dari mereka padahal yang diketahui Ajo Sidi itu adalah seorang pembual, dalam
artian mudah terhasut. Perilaku masyarakat yang masih kental dengan suasana
pedesaan dan perilaku masyarakat yang masih tolong menolong sangat tergambar
dalam cerpen ini, namun di satu sisi ada orang yang merasa dirinya hebat dan
bebas mengarang cerita seperti Ajo Sidi yang mengarang cerita tentang Haji
Saleh yang religius tapi pada akhirnya masuk neraka karena seorang yang kufur
nikmat. Itulah yang membuat tokoh Kakek merasa tersinggung dan pada akhirnya
memutuskan bunuh diri karena depresi, sedangkan Ajo Sidi tidak merasa bersalah
sama sekali.
Posting Komentar