0
forgive me mother
Posted by aafiahhhh
on
21.10
Forgive me Mother
Kadang kala sesuatu yang kita tak sengaja lakukan akibatnya sangat fatal dan membuat kita tak bisa melupakannya seumur hidup.
Setiap anak menginginkan ibunya bahagia, mereka tak akan mengecewakan orang yang telah melahirkan dan menjaga serta mendidik mereka seutuhnya, dan tidak dicap anak durhaka. Mungkin itulah yang ada dipikiran segelintir anak, belajar dari pengalaman sendiri saya bercerita betapa pahitnya hidup ini. Janji tak akan mengecewakan ibu dan ayah hanya kata-kata belaka. Walaupun kata-kata tersebut sudah diteguhkan dalam hati tetap saja saya tak bisa melawan mulut, omongan menang dalam masalah ini. Tapi ada satu peristiwa yang membuat saya tak bisa memaafkan diri sendiri, hal yang tak kusengaja tapi tetap saja menoreh luka dalam jika mengenangnya kembali. Mungkin di depan mereka saya seorang yang keras kepala dan pembangkang tapi ketahuilah saya hanya manusia biasa yang bisa tersinggung dan sadar akan kesalahan sendiri, kesalahan yang tak kuinginkan sama sekali sebelumnya.
Apa yang bisa diminta seorang balita berusia kira-kira 2 tahun selain ASI, makanan, mainan, dan kasih sayang. Jika itu cukup mungkin dapat menyenangkan balita tersebut. Dan itu juga yang saya inginkan dari kedua orang tua dan keluarga sekitar. Terlahir dengan kedua orang tua yang lumayan sibuk membuatku sering dititipkan di rumah saudara atau nenek. Percayalah bahwa bayi itu mempunyai naluri kesepian layaknya orang dewasa. Walaupun mereka bayi tapi insting mereka kuat, jika seorang anak berasal dari keluarga yang sibuk pertumbuhan anak itu pun tidak akan sama dengan anak seusianya yang penuh dengan kasih sayang. Bukannya saya kekurangan kasih sayang seperti halnya yang terjadi di sinetron-sinetron tapi hanya mengingatkan betapa beruntungnya saya yang masih memiliki keluarga lengkap dibandingkan dengan mereka yang yatim piatu.
Waktu kecil saya tinggal di rumah nenek yang kebetulan pada waktu itu listrik belum ada, jadi setiap malam kami hanya ditemani oleh cahaya remang-remang sebuah pelita. Ibu sedang sibuk-sibuknya menulis, entah apa yang beliau tulis. Sedangkan saya bermain, tapi yang namanya bayi selalu bosan terhadap sesuatu yang sudah sering kali mereka lihat. Kami berkumpul di ruang tengah, ibu yang sedang sibuk, aku yang sedang bermain ditemani nenek yang tiduran di sebelahku. Ayah sedang tugas kerja di luar daerah. Saya yang masih balita sedang ingin menyusu dengan polosnya mendekati beliau dan menarik kain sarung yang dipakainya. Merasa tak dipedulikan dan pada dasarnya sedari kecil saya memang anak yang keras kepala jadi dengan nekatnya memanjat kursi dan naik diatas meja. Nenek mungkin tak menyadari hal tersebut karena terlihat beliau yang terlelap dalam tidurnya.
Mungkin saking sibuknya sampai ibu tak memedulikanku atau menggendongku untuk lekas pergi dari meja agar tak mengganggu pekerjaannya, saat itu saya bermain-main diatas meja tepat bersebelahan dengan pelita yang dipakai ibu sebagai penerangannya untuk menulis.
Tak disangka-sangka sebelumnya, saya menyenggol pelita tersebut hingga jatuh pas dipangkuan ibu, refleks minyak tanah yang ada dalam wadah tumpah dan api menjilat-jilat tubuh beliau. Ibu berteriak panik dan kepanasan. Sedangkan nenek dengan sigap menggendongku yang sudah menangis ketakutan, insting anak melihat ibunya berteriak histeris. Ibu semakin berteriak kepanasan dan kesakitan dan tangisku pun makin menjadi-jadi.
Saya tak ingat lagi apa kejadian setelahnya, yang saya ingat pada keesokan harinya ibu telah berada di rumah sakit didampingi ayah yang duduk di samping beliau, seluruh tubuh beliau dibalut perban. Mungkin 80% tubuh Ibu terbakar. Saya yang belum tahu apa-apa hanya bisa menangis dipangkuan nenek. Saya telah membuat kesalahan besar. Merusak tubuh mulus beliau dan menjadikannya melepuh dan kehitaman, tapi satu yang masih bisa saya syukuri, beliau masih ada sampai sekarang. Masih setia menemani dalam tiap langkah anak-anaknya, masih sering memarahi anak-anaknya, masih tersenyum dan tertawa melihat tingkah anak-anaknya yang kadang menggelitik perut, masih mencari nafkah untuk anak-anaknya, masih bersabar melihat anak-anaknya yang nakal dan keras kepala, masih mendoakan anak dan keluarga disetiap doanya, dan selalu menangis jika melihat dan membayangkan kembali kelakuan anak-anaknya yang membuat hatinya sakit.
Rasa perih dalam hati, dan rasa bersalahku makin bertambah saat orang lain menceritakan hal tersebut kepadaku. Seakan menyalahkan. Tapi ibu seperti meyembunyikan hal tersebut kepadaku, tak pernah mengungkit-ungkitnya, dan tak pernah menyalahkanku atas peristiwa itu, beliau sungguh berhati malaikat.
Ibu… maafkan aku anakmu yang penuh dosa ini, kalau bisa jujur saya merasa sangat bersalah atas kejadian tersebut dan membuat kulit ibu tak bisa normal lagi seperti dulu dan tak akan pernah melupakan peristiwa tersebut seumur hidup. Saya tidak mau dicap anak yang telah membakar Ibunya. Saya memang anak yang keras kepala dan sering kali membuat ibu menangis tapi ketahuilah saya sayang ibu, sangat sayang. Maafkan aku Ibu…. Aku sayang Ibu J.
Mungkin saat ini saya masih anak yang keras kepala dan kadang kala melawanmu, tapi ketahuilah di dasar hatiku yang yang paling dalam tersimpan harapan besar untuk melawan itu semua, dan kelak kau akan tersenyum melihatku seperti apa yang engkau inginkan.
Posting Komentar