0

Sebatas Gelar Sarjana [saja]

Posted by aafiahhhh on 20.21


Aku adalah perempuan yang terbelenggu oleh adat. Aku hidup di antara beribu larangan dan pamali di sekelilingku, dan itu adalah hal yang dijunjung tinggi oleh masyarakat di sini tidak terkecuali oleh orang tuaku. Umurku kini sudah menginjak 24 tahun dan Aku seorang sarjana pendidikan yang tak kunjung mendapatkan pekerjaan.
Bagi masyarakat di sini Aku adalah sarjana yang sia-sia, dulu saja saat Aku masih kuliah Aku dielu-elukan karena masa depanku pasti cerah, karena di antara beberapa gadis di desaku hanya segelintir yang melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi. Tapi satu tahun setelah pendidikanku selesai dan kembali ke kampung tak ada sekolah yang memanggilku untuk sekedar menjadi guru honorer,  pendaftaran CPNS pun Aku belum lulus setelah 2 kali mengikuti tes. Jujur aku malu, hanya menjadi pergunjingan warga desa yang sama sekali tak mengerti susahnya Aku mendapat gelar ini.
Pernah Aku mengutarakan niatku kepada Ibu Bapak untuk kembali ke Makassar atau ke daerah lain untuk mencari pekerjaan tapi jawaban mereka malah membuat hatiku remuk.
“Pak, bagaimana kalau Husni kembali saja ke Jungpandang, Husni gerah mendengar pergunjingan warga di sini yang tidak tidak soal Husni” keluhku.
“Rezeki sudah ada yang atur Nak, kau tinggal saja di kampung menunggu sampai ada pendaftaran lagi daripada ke Jungpandang tapi nasibmu juga belum jelas” katanya santai.
“Tapi Bapak tau sendiri, untuk menjadi PNS harus ada dekkeng Pak!! Dan tidak murah, sementara Bapak tak mau mengeluarkan duit sepeser pun untuk membantu Husni lepas dari pergunjingan” kataku mulai tak sabar.
Bapak menatapku tajam “Itu artinya kau tak percaya kepada dirimu sendiri, Bapak Ibu sekolahkankan kamu jauh-jauh dengan biaya yang tak sedikit tapi kamu malah begini”.
Aku mendengus merasa tak berdaya “Sudahlah Husni, kau sabar saja. Anaknya Pak Haseng saja yang tahun lalu ikut CPNS dan nyata-nyatanya pakai dekkeng tak lulus jua padahal Dia sudah bayar setengahnya, bayangkan bagaimana stresnya Dia” Ibu menimpali.
Aku benar-benar terbelenggu, Aku tahu yang Ibu maksud itu, Arni teman sepermainanku sekaligus kakak tingkatku di SMP dulu. Tapi itu karena kebodohannya sendiri yang percaya saja kepada orang yang baru dikenalnya.
“Tapi Pak, Husni tak usah jadi PNS juga tak apa, yang penting Husni kerja dulu daripada hanya tinggal di kampung dan menjadi pergunjingan, mending Husni ke Jungpandang saja, di sana Husni bisa memasukkan lamaran ke kantor yang membutuhkan tenaga Husni” kataku melakukan pembelaan lagi.
“Sudahlah Husni, kamu masuk kamar saja. Kau lulusan fakultas pendidikan, ya kodratnya jadi guru, jadi PNS. Jadi kalau kau mau ke Jungpandang dan kau belum tau mau jadi apa mending kau di rumah bantu Ibumu! Kau di atas juga bisa jadi pergunjingan kalau tiba-tiba kau pulang bersama perut buncit. Jadi kau di rumah saja!” Aku hanya diam lalu masuk kamar, air mataku menetes. Aku kesal dengan Bapak Ibu yang masih menjunjung adat, mentang-mentang Aku perempuan Aku tak dibebaskan untuk mencari pekerjaan sesuka hati, padahal pintu rezeki selalu terbuka bagi hamba Allah yang mencarinya.
Aku pun melalui hidupku begitu-begitu saja, monoton. Warga desa juga masih menjadikanku buah bibir yang renyah saat melihatku. Andai saja Bapak Ibu rela melepas anak satu-satunya ini mencari pekerjaan daripada hanya tinggal di kampung. Kampungku ini memang masih jauh dari kata modern dan tak tahu perkembangan apa saja yang ada di luar sana, pantas saja mereka semua kolot akan pendidikan.
Aku merasa benar-benar tak berguna, ditekan, dikekang. Berbagai pikiran negatif dan tidak-tidak mulai menghampiri kepalaku. Aku menyeruduk masuk kamar dan menggeledah lemari. Tak ada gunanya menempuh pendidikan kalau ujung-ujungnya hanya tinggal di rumah. Kukeluarkan semua ijazahku mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, aku menatapnya satu persatu. “sia-sia selalu juara kelas hingga cumlaude kalau hanya begini” kataku sinis. Aku pun merobek semua ijazah itu, tak ada ampun, amarah menguasaiku. Aku berteriak dan menangis histeris, saat Bapak Ibu datang ke kamarku dan menyaksikan ijazah ijazah itu tinggal tumpukan kertas kecil dan Bapak Ibu tak kalah histerisnya. Dan  Aku tak ingat apa-apa lagi, mungkin Aku juga sudah gila seperti Arni.



Copyright © 2009 NurAfiahprtm All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive | Distributed by Deluxe Templates

Blogger Templates