0
“SEONGGOK CERITA SI PEMUNGUT SAMPAH”
Posted by aafiahhhh
on
23.11
Tubuh kurus tinggi
menjulang, sepasang mata yang juling, kulit yang keriput, gigi-giginya yang
jarang, serta senyum mengerikan yang selalu menghiasi wajahnya. Itulah gambaran
dari Pak Ahmad. Laki-laki paruh baya yang tinggal di pinggiran sungai dekat
rumahku. Dia selalu ceria, tersenyum walaupun aku dapat menangkap kepedihan
mendalam di manik matanya. dia selalu dihina dan direndahkan, tapi dia menerima
semua itu dengan senyum. Anak-anak sekitar rumahku sering memanggil Pak Ahmad
dengan julukan “monster juling”. Sore itu aku melihat Pak Ahmad duduk diam di
pinggir sungai dekat gubuknya. Dia memandangi sungai sangat lama, sampai aku
pun berpikiran usil. Sebenarnya Pak Ahmad memandangi sungai atau memandangi Ibu
Surti?”. Hahahaha, tapi segera kuenyahkan pikiran konyol itu saat mengetahui
Ibu kini memandangku dengan alis bertaut, mungkin beliau mulai berpikir Putri
sulungnya ini sedang mengalami gangguan.
Hari ini cuaca panas sekali,
matahari sepertinya sedang melakukan inovasi ingin membuat makhluk bumi hitam
dalam waktu singkat. Kuseret langkahku menuju rumah dengan gontai, tapi
pemandangan di depanku membuat tubuhku menjadi tegak. Pak Ahmad sedang mengais
sampah-sampah di sungai. Dia terlihat begitu serius, hingga tak sadar akan
kehadiranku. Tangannya yang keriput mengangkat sampah-sampah itu ke pinggiran
sungai. Padahal seingatku sampah-sampah di sungai itu sangat banyak, sungai itu
tak pernah bersih karena para warga sekitar kompleks lebih memililih membuang
sampah-sampah ke sungai dibanding membakar atau menguburnya. Dan aku malu
mengakui itu, Keluargaku pun demikian, lebih memilih membuang sampah ke sungai.
Sementara pemerintah sepertinya tak acuh dengan kehidupan kami. “Pak Ahmad lagi
apa?” tanyaku mengagetkan. Dia berbalik memandangku sejenak lalu tersenyum.
“ehh Ashilla, Bapak sedang membersihkan sungai ini, bapak ingin sungai ini bisa
bersih” katanya datar. Aku tercekat, “Bapak sungguh-sungguh? Apa Bapak tak
lihat begitu banyak sampah?, mustahil Pak!” kataku meremehkan, karena memang
sangat mustahil untuk melakukan semua itu. Dia tak membalas ucapanku, Pak Ahmad
kembali sibuk mengumpulkan sampah-sampah itu dan tak mengacuhkanku. Sial
pikirku.
Aku bersungut-sungut
sepanjang jalan, merasa tak diacuhkan. Mentang-mentang aku hanya anak 1 SMA
yang tak tahu apa-apa, kusentakkan kaki masuk rumah. “aku pulang” teriakku
nyaring yang dibalas Ibu dengan teriakan juga memperingatiku agar tak berteriak
seenak hati, aku kembali kesal. Sepertinya hari ini hidupku penuh kesialan.
Kupandangi luar jendela dan mataku pun tertumbuk pada sosok Pak Ahmad yang
duduk di pinggiran sungai, sepertinya dia begitu lelah. Mulutnya yang
pecah-pecah kini tampah parah saja. Pak Ahmad itu terlalu baik untuk jadi orang
yang teraniaya. Disaat dia niat membantu, para warga malah mencemoohnya. Pak Ahmad
yang selama hidupnya tak pernah merasakan yang namanya kebahagiaan, hidup
sebatang kara di gubuk reyot, dan tak ada satupun sanak keluarga yang rela
menemaninya. Andai aku jadi dia, mungkin aku akan melakukan segala cara untuk
mengakhiri hidupku yang malang itu. Tapi tidak dengan dia, dia dengan senyum
terus menghadapi hidup, walaupun sakit sebenarnya hidup diantara orang-orang
yang menganggap kita tak ada. Tapi dia berbeda, dia adalah sosok yang begitu
tegar, berusaha senyum walaupun sakit, berusaha sabar ketika dihina, dan
bertahan hidup di kerasnya ibukota. Air mataku menetes, membuat genangan kecil.
Aku menangisi seorang yang tak dianggap, emosi benar-benar meluluhlantahkan
hatiku.
Saat menyadari orang-orang
di sekelilingmu tak pedulikanmu, apa yang kau perbuat?.
“heii Pak Ahmad, apa kau
ingin jadi pahlawan kesiangan? Tidak ada pekerjaan lain sehingga kau berusaha
membersihkan sungai? Hhe..” teriak Pak Surya yang terkenal suka mencampuri
urusan orang itu. Pak Ahmad berbalik, matanya yang juling memandang ke arah Pak
Surya. Dia lalu tersenyum, hanya sebentar. Lalu melanjutkan lagi pekerjaannya.
“dasar orang gila, monster jelek!” maki Pak Surya kasar. Pak Ahmad hanya
mengelus dada, sementara orang-yang menyaksikan itu memandang Pak Ahmad penuh
ekspresi, ada yang menatap iba, menatap jijik, bahkan ada yang melempari Pak
Ahmad dengan sampah.
“Shilla, buang sampah yang
ada di dapur!”. Aku segera melangkah ke belakang dan menuju sungai. Tapi
lagi-lagi aku menyaksikan pemandangan yang membuat perasaanku campur aduk. Pak
Ahmad memunguti satu persatu sampah-sampah yang begitu banyak, dengan bau yang
menusuk hidung siapapun. Sampah itu hanya buangan masyarakat, tapi mengapa
orang ini melakukan hal bodoh yang membuat dirinya makin direndahkan, pikirku.
“Nak Shilla mau buang sampah?” tanyanya dengan suaranya yang begitu berat. Aku
mengangguk mengiyakan “ya sudah buang di sana saja yah” katanya menunjuk tumpukan
sampah yang telah dipungutinya satu persatu, aku menurut. “apa Pak Ahmad tidak
merasa sia-sia melakukan ini semua, memunguti sampah satu persatu, lalu
menumpuknya, mau dibawa kemana
sampah-sampah itu pak? Tanyaku ikut membantunya memunguti sampah yang tertiup
angin, semerbak bau menusuk hidung tercium. “Bapak tidak pernah merasa sia-sia,
semua orang bisa bermimpi kan nak? Dan inilah salah satu mimpi bapak dari
sekian banyak mimpi-mimpi yang tak sempat terwujud” dia mengatakannya dengan
tenang, seolah tak ada beban yang menghimpit dadanya. Aku tidak mengerti dengan
ucapannya, kuperhatikan laki-laki di depanku ini. Tubuhnya kini makin
menghitam, kulitnya juga makin kasar, jalannya mulai membungkuk, dan yang makin
membuatku terenyuh adalah tekadnya yang selalu dianggap rendah.
Sudah sebulan ini Pak Ahmad
melakukan aktivitasnya, sungai itu memang terlihat agak mendingan sebelum
dibersihkan, senyum Pak Ahmad semakin merekah atas hasil kerjanya. Namun pil
pahit kehidupan harus selalu ditelannya bulat-bulat, tiap hati Ia harus
mengadapi berbagai celaan dari warga sekitar yang merasa terganggu dengan aksi
Pak Ahmad. Aku sendiri? Aku masih tetap pada pendirianku, tak membela siapapun.
Walaupun aku tahu dalam hatiku aku lebih tertarik dengan aksi Pak Ahmad.
Sungai yang setiap tahunnya
banjir, sungai yang selama 16 tahun aku hidup tak pernah berubah, tetap saja
tercemar oleh buangan masyarakat, sungai yang menjadi tempat bermainnya
anak-anak kecil sekitar rumahku, sungai yang menjadi impian Pak Ahmad, dan
sungai itu pulalah yang nantinya akan membawa petaka.
Aku berjalan sambil
mengkhayal, masih mengingat kata-kata guru Agamaku yang begitu membekas. “semua
orang itu punya mimpi, punya impian. Dan untuk menggapai impian itu tidaklah
mudah, butuh perjuangan. Apakah kalian pernah melihat anak jalanan yang
mengemis di lampu merah? Mereka semua punya impian, mungkin hanya impian kecil
tapi sangat bermakna. Mungkin impian mereka hanyalah satu “ ya Allah semoga
hari ini banyak yang peduli padaku, banyak yang mengasihiku walaupun sebenarnya
aku tak mau dikasihani” sangat sederhana tapi itulah impian seorang pengemis.
Jadi anak-anak janganlah merusak hidup kalian dengan menghalangi impian seseorang,
jadilah pribadi yang bijak dalam mengambil keputusan”. Tiba-tiba aku teringat
akan Pak Ahmad yang selama beberapa hari ini tak mengais dan memunguti
sampah-sampah di sungai, kemana dia? Kataku bertanya-tanya. Langkahku terhenti
di pinggiran sungai, Pak Ahmad benar-benar tak tampak, padahal biasanya kalau
jam segini dia suah serius memungut sampah di bawah terik matahari.
“Bu, Pak Ahmad kemana yah,
kok Shilla gag pernah liat dia lagi?” tanyaku saat kami sedang makan siang, Ibu
hanya menggeleng yang membuatku semakin nelangsa. Ibu memang terkadang terlalu
cuek dengan dengan berbagai kejadian yang ada di sekitarnya, berbeda dengan aku
yang selalu ingin tahu. Merasa tak mendapat kepuasan dari jawaban Ibu, aku
segera ke kamar.
Sungai itu kini tak
berpenghuni, bahkan sampah pun enggan untuk menghampiri, sungai itu tiada lagi
yang punya. Kemana Pak Ahmad?. Gubuknya pun semakin reyot saja, seingatku aku
belum pernah sekalipun mengijakkan kaki di gubuknya yang berada tak jauh dari
tempatnya selalu memungut sampah. Tapi di sore itu, entah mendapat kekuatan
dari mana aku ingin sekali pergi kesana. Bermodalkan tekad aku pun kini sudah
berada di depan gubuk ini. Tak ada siapa-siapa, hanya semilir angin dan bau tak
sedap yang segera menyergap hidungku. Pak Ahmad yang selama ini tidak mempunyai
teman, membuat dirinya tak bisa berbuat apa-apa untuk memperbaiki hidupnya.
“Assalamu Alaikum” sapaku, tapi tak ada jawaban, kuberanikan diri untuk membuka
pintu utama. Pintu itu berdecit nyaring memekakkan telingaku, tapi yang membuat
aku makin terenyuh adalah pemandangan di depan mataku. Orang yang selama ini
membuatku bertanya-tanya tergolek tak berdaya di atas sebuah ranjang dengan
keadaan yang begitu mengenaskan menurutku. Dia begitu kurus, ohh kemana Pak
Ahmad yang selama ini selalu semangat menjalani hidup?. Aku berteriak panik,
lalu berlari ke hadapannya. Masih dengan tampang panik, aku kembali menangis
untuknya, untuk orang secara diam-diam kukagumi atas aksi-aksinya. Dia
terbangun, memandangku, lalu tersenyum. “Nak Shilla ngapain kesini?” katanya
dengan susah payah, aku hanya bisa membatu di tempatku. “Bapak kenapa?” kataku
akhirnya. Dia hanya tersenyum lemah lalu menjawab pertanyaanku dengan susah
payah. Aku benar-benar menangis, merasa bisa merasakan penderitaan bapak paruh
baya ini. Dia menderita kanker otak, juga komplikasi hingga dia hanya bisa
tergolek lemah seperti ini. “cukup sudah Bapak dipandang lemah oleh
orang-orang, tapi kali ini biarlah Bapak pergi dengan tenang tanpa perlu
dihina” aku melihat butiran kristal keluar dari sana, ya.. dia menangis. Dan
baru kali ini aku melihat lelaki yang kukenal kuat itu menangis. Pak Ahmad lalu
memberiku sebuah buku tulis yang kusut, mungkin sekusut hatiku saat ini. Aku
tak tahu apa isinya yang pastinya sangat berharga karena dalam keadaan sakit
pun dia masih menulisinya. Dia kini menutup mata, membentangkan jarak fiktif
antara aku dan dirinya. Meregang nyawa menyambut dunia baru yang ada
dihadapnya.
Di sinilah aku sekarang, di
pinggiran sungai memandang sungai yang sampahnya tak sebanyak dulu lagi. Pak
Ahmad benar-benar berhasil mewujudkan impiannya. di tanganku kini ada sebuah buku
yang menjadi catatan seorang Pak Ahmad. Dia benar-benar mengajariku arti hidup.
Tak pernah kusangka sebelumnya Pak Ahmad mempunyai impian yang begitu banyak.
Di halaman pertama tertulis ”aku ingin semua orang
mencintaiku dan tak memandangku sebelah mata” sebuah permintaan
sederhana namun sangat susah untuk beliau. Di halaman kedua tertulis “aku ingin bermanfaat bagi semua orang, aku ingin
membersihkan sungai yang ada di depan gubukku agar tak ada yang terkena
imbasnya”, yang sukses membuatku menitikkan air mata. Dihalaman-halaman
berikutnya dia menulis segala mimpi dan impiannya. mulai dari ingin membuat
rumah yang megah, ingin punya baju lebaran, ingin ke rumah sakit mengobati
penyakitnya, dan yang paling membuatku terenyuh di halaman terakhir. “aku ingin meninggalkan dunia ini dengan tenang, aku sudah
mewujudkan satu mimpiku, mimpi yang konyol namun sangat berarti bagiku”
ditulis acak-acakan, dan ada noda darah di sana. Aku tahu mimpi apa itu,
kembali aku menelusuri apa yang ada di hadapku. Inilah satu-satunya mimpi Pak
Ahmad yang tersisa dan bisa terwujud walaupun tak sepenuhnya. Dialah yang
mengajariku memaknai hidup, memaknai impian, dan mengajariku betapa keras hidup
ini. Sungai ini benar-benar tak berpenghuni, hanya angin yang menemaniku, bahkan
sampah pun kini enggan terbang menghampiriku. Kulangkahkan kaki meninggalkan
tempat ini, aku harap kau bahagia disisinya. Selamat jalan Pak Ahmad J.
NUR’AFIAH